JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka melemah pada perdagangan hari ini, Jumat, 15 November 2024, mendekati level psikologis Rp16.000 per dolar AS. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka turun 0,44% atau 69,5 poin, yang membawa mata uang Garuda tersebut diperdagangkan di level Rp15.931,5 per dolar AS.
Sementara itu, indeks dolar AS tercatat naik 0,2% ke level 106,23, menambah tekanan pada mata uang-mata uang global, termasuk rupiah.
Beberapa mata uang Asia lainnya juga mengalami pelemahan serupa, seperti yen Jepang yang melemah 0,17%, dolar Hong Kong melemah 0,02%, dan won Korea Selatan yang turun 0,1%. Dolar Taiwan, peso Filipina, rupee India, dan yuan China pun tercatat melemah dengan kisaran angka yang serupa, Jumat, 15 November 2024.
Tren Pelemahan Rupiah Berlanjut
Pelemahan rupiah hari ini melanjutkan tren penurunan yang terjadi pada perdagangan kemarin (14/11/2024), di mana rupiah tercatat melemah 78 poin ke level Rp15.862 per dolar AS.
Ibrahim Assuaibi, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, memperkirakan bahwa pada perdagangan hari ini, rupiah masih akan bergerak fluktuatif, meskipun diperkirakan tetap akan ditutup melemah dalam rentang Rp15.850 - Rp15.950 per dolar AS. Menurut Ibrahim, beberapa faktor eksternal dan domestik menjadi pemicu utama pergerakan nilai tukar rupiah.
Faktor Eksternal: Inflasi AS dan Kebijakan The Fed
Dari sisi eksternal, salah satu faktor utama yang memengaruhi fluktuasi rupiah adalah data inflasi AS untuk Oktober 2024 yang menunjukkan inflasi yang masih tinggi, meski sesuai dengan ekspektasi pasar. Meskipun ada harapan pemotongan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed) pada bulan Desember mendatang, ketidakpastian tetap membayangi pasar terkait arah kebijakan moneter jangka panjang.
Sementara itu, pasca-penurunan suku bunga 25 basis poin oleh The Fed minggu lalu, pasar kini menantikan pidato dari Ketua The Fed Jerome Powell yang diharapkan memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai kebijakan moneter di masa depan.
Ketegangan inflasi dan kebijakan moneter yang berpotensi berubah, ditambah dengan pemilihan Presiden AS yang dapat memengaruhi kebijakan fiskal dan moneter, menjadi faktor risiko yang perlu diperhatikan oleh pelaku pasar.
Faktor Domestik: Kebijakan Subsidi BBM dan Harga Minyak Dunia
Di dalam negeri, rencana Presiden RI Prabowo Subianto untuk mengubah kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi bantuan langsung tunai (BLT) dianggap lebih tepat sasaran oleh para ekonom.
Kebijakan tersebut dinilai akan lebih efektif dalam membantu masyarakat, terutama kelompok rentan dan menengah bawah, terutama di tengah penurunan harga minyak dunia yang kini berada di bawah asumsi dalam APBN.
Harga minyak mentah dunia yang mengalami pelemahan akibat oversupply, serta menurunnya impor dari China, berpotensi memberi ruang bagi pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan kebijakan baru terkait subsidi BBM.
Meski demikian, pelemahan ekonomi global dan ketidakpastian pasar tetap menjadi tantangan bagi rupiah dalam jangka pendek.
Outlook Rupiah ke Depan
Dengan kombinasi faktor domestik dan global, analisis jangka pendek menunjukkan bahwa rupiah kemungkinan akan tetap tertekan, meskipun ada potensi pembalikan arah jika kebijakan moneter AS lebih jelas atau ada sinyal positif dari pasar energi global.
Mengingat dinamika yang terjadi, pelaku pasar diharapkan tetap memperhatikan data inflasi dan kebijakan suku bunga dari The Fed, serta dampak dari kebijakan subsidi baru pemerintah Indonesia terhadap stabilitas ekonomi domestik