Kebijakan B50 Indonesia Diproyeksikan Dorong Harga Sawit Internasional

Jumat, 14 November 2025 | 13:02:16 WIB
Kebijakan B50 Indonesia Diproyeksikan Dorong Harga Sawit Internasional

JAKARTA - Pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan langkah strategis yang berpotensi mengubah dinamika pasar minyak sawit dunia. 

Program biodiesel B50, yang akan meningkatkan campuran biodiesel dari 40 persen menjadi 50 persen pada 2026, diprediksi memberi dampak signifikan terhadap pasokan global. 

Dengan lebih banyak minyak sawit dialihkan untuk kebutuhan domestik, porsi ekspor akan berkurang, sementara produksi di negara produsen utama lain stagnan.

Langkah ini dipandang akan memperketat pasokan minyak sawit global dan berpotensi mendorong kenaikan harga minyak nabati secara internasional. Selain itu, beberapa negara bisa mengalami inflasi pangan karena harga minyak nabati naik.

Saat ini, harga minyak sawit yang menjadi bahan baku makanan, kosmetik, dan bahan bakar tercatat turun sekitar 6 persen sejak awal tahun, berada di angka 4.145 ringgit (USD 999,61) per ton.

Perkiraan Kenaikan Harga dan Dampak bagi Petani

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, memperkirakan harga minyak sawit bisa naik hingga 5.000 ringgit per ton pada periode Januari–Juni 2026 jika B50 dijalankan penuh. 

Menurut Eddy, selain kenaikan harga di pasar global, kebijakan ini berpotensi disertai kenaikan pungutan ekspor, yang kemungkinan besar berdampak pada petani kecil.

“Waktu penerapan program B50 akan menjadi faktor penentu arah pasar,” ungkapnya. 

Pedagang senior Dorab Mistry, Direktur Godrej International Ltd., menambahkan bahwa kebijakan ini dapat mendorong harga sawit mencapai 5.500 ringgit per ton pada kuartal pertama 2026, level tertinggi dalam tiga tahun terakhir.

Permintaan Domestik dan Aktivitas Produksi

Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit terlihat mengantre untuk pembongkaran di beberapa pabrik minyak sawit, seperti PT Karya Tanah Subur (KTS) di Desa Padang Sikabu, Aceh Barat. Aktivitas ini menjadi indikasi bahwa permintaan domestik meningkat seiring persiapan implementasi B50.

Matthew Biggin, Analis Komoditas Senior di BMI, menjelaskan bahwa kebijakan ini mendorong konsumen global untuk mencari sumber pasokan baru.

 “Diperlukan intervensi pemerintah agar produksi biodiesel dalam negeri menjadi prioritas dibanding ekspor. Ini bisa memengaruhi pasar tradisional seperti India dan Tiongkok, yang harus mencari pemasok lain,” katanya.

Uji Laboratorium dan Peningkatan Konsumsi Domestik

Pemerintah Indonesia telah menyelesaikan uji laboratorium untuk campuran B50, namun uji jalan masih menunggu pelaksanaan. Sekjen Gapki, M. Hadi Sugeng Wahyudiono, menyatakan penerapan penuh B50 akan meningkatkan konsumsi minyak sawit untuk biodiesel sebesar 25 persen dan dapat memangkas ekspor menjadi 26 juta ton pada 2026, dari estimasi 31 juta ton pada 2025.

Selain faktor kebijakan, cuaca ekstrem akibat fenomena La Niña dapat mengganggu panen sawit antara November hingga Februari. 

Faktor lain yang memengaruhi pasar adalah kebijakan perdagangan pertanian antara China dan AS, kebijakan biofuel AS yang dapat mengurangi ekspor minyak kedelai, serta ketersediaan stok minyak nabati lain seperti bunga matahari dan kanola. Penyitaan ratusan ribu hektare lahan juga menimbulkan kekhawatiran terhadap produksi pada tahun mendatang.

Pelaksana Tugas Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, Sahat Sinaga, menekankan bahwa pengelolaan lahan yang kurang tepat berisiko menurunkan produksi sawit tahun depan. Jacquelyn Yow, Associate Director riset di CGS International Securities Group, menilai semua faktor ini membuat prospek harga sawit menjadi positif.

Proyeksi Konsumsi dan Pengaruh Global

Jacquelyn Yow memprediksi implementasi penuh B50 kemungkinan dimulai pada Juni 2026. Pada saat diterapkan, permintaan biodiesel diperkirakan mencapai 1,7 juta ton. Total konsumsi biofuel Indonesia akan mencapai 15,6 juta ton, setara dengan sekitar 18 persen dari konsumsi sawit dunia. Angka ini meningkat dari 17 persen pada tahun 2025 di bawah program B40.

Kondisi ini menciptakan tekanan permintaan yang kuat, yang diyakini akan mendukung kenaikan harga minyak sawit global. Indonesia, sebagai salah satu produsen utama, berperan signifikan dalam menentukan harga minyak nabati dunia. 

Para analis menekankan bahwa pasokan domestik dan kebijakan prioritas penggunaan biodiesel akan menjadi faktor kunci dalam menjaga stabilitas pasar dan mendorong harga naik.

Risiko dan Tantangan Bagi Petani Kecil

Meskipun prospek harga positif, kebijakan B50 juga membawa risiko, terutama bagi petani kecil. Kenaikan pungutan ekspor bisa menurunkan pendapatan mereka jika harga jual domestik belum menyesuaikan. Pemerintah diminta memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan industri, stabilitas harga, dan perlindungan bagi petani.

Selain itu, risiko cuaca ekstrem, kebijakan perdagangan internasional, dan pengelolaan lahan menjadi faktor yang dapat memengaruhi efektivitas B50. 

Penanganan yang tepat sangat penting agar program ini tidak hanya menguntungkan industri besar, tetapi juga menjaga keberlanjutan produksi sawit nasional.

B50 sebagai Strategi Nasional dan Global

Program B50 2026 bukan sekadar kebijakan energi domestik, tetapi juga strategi untuk menstabilkan harga minyak sawit global. Dengan meningkatnya konsumsi dalam negeri dan berkurangnya ekspor, harga sawit diprediksi naik, memberikan peluang bagi industri besar dan produsen utama. Namun, risiko bagi petani kecil tetap ada, terutama terkait pungutan ekspor.

Dengan persiapan uji laboratorium dan uji jalan yang matang, Indonesia siap mengimplementasikan B50 sebagai langkah strategis pengelolaan pasar sawit. 

Kebijakan ini tidak hanya mendorong produksi dan konsumsi biodiesel domestik, tetapi juga menegaskan posisi Indonesia sebagai pemain kunci dalam pasar minyak nabati dunia pada 2026.

Terkini