JAKARTA - Pemerintah menegaskan bahwa kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 tidak akan lagi seragam untuk seluruh wilayah Indonesia.
Kebijakan ini dibuat untuk memberi ruang bagi setiap daerah menyesuaikan pengupahan sesuai kondisi ekonomi lokal dan kebutuhan hidup warganya.
Langkah ini juga bertujuan menekan disparitas upah antarprovinsi maupun kabupaten/kota, sekaligus mengakomodasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pekerja.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menegaskan, “Jadi tidak dalam satu angka karena dalam satu angka berarti disparitasnya tetap terjadi,” saat konferensi pers di Kantor Kemenaker, Jakarta.
Pernyataan ini menegaskan bahwa formula kenaikan upah minimum tahun depan akan lebih fleksibel, berdasarkan kondisi ekonomi masing-masing daerah.
Skema Baru Pengupahan Berbasis Peraturan Pemerintah
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang diatur melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker), kenaikan UMP 2026 akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP). Dengan basis PP, pemerintah tidak lagi terikat pada tanggal pengumuman tertentu seperti 21 November, yang selama ini menjadi tradisi.
“Tidak ada lagi kewajiban mengumumkan pada tanggal 21 November,” jelas Yassierli.
Ia menambahkan bahwa proses penyusunan draf PP masih berlangsung, melibatkan kajian mendalam bersama Dewan Pengupahan dan pemerintah daerah. Tujuannya adalah memastikan bahwa regulasi baru lebih responsif terhadap kondisi lokal, sekaligus memperkuat perlindungan pekerja.
Peran Daerah Lebih Besar dalam Menentukan UMP
Sejalan dengan Putusan MK Nomor 168 Tahun 2024, Dewan Pengupahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota kini memiliki peran lebih besar dalam menetapkan UMP.
Mereka diminta untuk mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi daerah, KHL pekerja, serta kapasitas perusahaan lokal sebelum menyampaikan rekomendasi kepada gubernur.
“Provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi tentu kajiannya berbeda dengan daerah yang pertumbuhannya rendah,” kata Yassierli. Hal ini memastikan bahwa kenaikan UMP akan lebih adil, sesuai kemampuan ekonomi tiap wilayah, dan tetap memperhatikan kesejahteraan pekerja.
Skema ini juga memberikan fleksibilitas bagi daerah untuk menentukan upah minimum sektoral (UMS) yang lebih tinggi dibandingkan UMP, sebagai langkah tambahan untuk melindungi pekerja di sektor tertentu.
Latar Belakang Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan MK menekankan pentingnya memperhitungkan KHL pekerja dalam penetapan upah minimum. Selain itu, putusan ini memperkuat posisi pengupahan di tingkat daerah, menegaskan bahwa formula pengupahan tidak bisa bersifat seragam nasional, melainkan harus mempertimbangkan kondisi lokal.
Langkah ini diambil agar pengupahan menjadi instrumen yang efektif untuk keadilan sosial dan kesejahteraan pekerja, serta dapat menyesuaikan dinamika ekonomi antarwilayah.
Tanggapan Serikat Pekerja
Serikat pekerja melalui Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) menyampaikan rekomendasi agar kenaikan UMP berada di kisaran 8–10 persen. Presiden KSPI, Said Iqbal, menekankan bahwa angka tersebut menjadi acuan perjuangan buruh di Dewan Pengupahan di setiap provinsi maupun kabupaten/kota.
“Angka 8,5 hingga 10,5 persen itulah yang menjadi acuan bagi serikat buruh di seluruh daerah, baik di Dewan Pengupahan provinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu, kami juga memperjuangkan adanya upah minimum sektoral yang nilainya harus lebih besar daripada UMK,” ujar Said Iqbal.
Dengan skema ini, serikat pekerja berharap kenaikan UMP 2026 lebih memenuhi kebutuhan pekerja, terutama mereka yang berada di wilayah dengan biaya hidup lebih tinggi.
Implikasi bagi Masyarakat dan Pemerintah Daerah
Kebijakan baru memberi fleksibilitas lebih besar bagi pemerintah daerah dalam menentukan besaran UMP. Hal ini memungkinkan mereka menyesuaikan pengupahan dengan kapasitas ekonomi dan pertumbuhan daerah masing-masing.
Selain itu, pendekatan berbasis PP juga mendorong transparansi proses penetapan UMP. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab lebih besar untuk memastikan pekerja menerima upah layak, sementara pemerintah pusat berperan sebagai pembimbing dan pengawas.
Mekanisme baru ini juga diharapkan memperkuat koordinasi antara pusat dan daerah dalam pengupahan, sekaligus menurunkan risiko kesenjangan upah yang sebelumnya menjadi masalah bagi pekerja di daerah dengan pertumbuhan ekonomi lebih lambat.
Contoh Dampak Skema Baru
Misalnya, provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi seperti DKI Jakarta atau Jawa Barat dapat menetapkan UMP lebih tinggi, sementara daerah dengan pertumbuhan ekonomi rendah dapat menyesuaikan upah agar tetap realistis dan tidak membebani pengusaha lokal. Pendekatan ini memastikan keseimbangan antara kepentingan pekerja dan keberlanjutan bisnis.
Skema fleksibel ini juga memberi ruang bagi penerapan upah minimum sektoral (UMS), misalnya di sektor manufaktur atau jasa tertentu, sehingga pekerja yang berada di sektor kritikal tetap memperoleh perlindungan upah yang memadai.
Penyesuaian KHL dan Produktivitas
Dalam menentukan besaran UMP, Dewan Pengupahan akan memperhitungkan KHL yang meliputi kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, transportasi, kesehatan, dan komunikasi. Faktor produktivitas daerah juga menjadi indikator penting dalam penentuan upah.
Pendekatan ini bertujuan agar upah minimum tidak hanya menjadi nominal angka, tetapi mencerminkan kemampuan pekerja memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan layak. Dengan demikian, pengupahan menjadi instrumen sosial sekaligus ekonomi yang berkelanjutan.
Kebijakan baru kenaikan UMP 2026 menandai pergeseran penting dari pendekatan seragam nasional menuju model fleksibel berbasis kondisi lokal. Dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah, pemerintah pusat memberikan ruang bagi daerah untuk menentukan upah minimum yang realistis, adil, dan sesuai KHL.
Skema ini juga mengakomodasi upah minimum sektoral yang lebih tinggi di sektor tertentu, sekaligus menjaga keseimbangan antara kepentingan pekerja dan dunia usaha. Serikat pekerja tetap mendorong kenaikan minimal 8–10 persen agar pekerja memperoleh penghidupan layak.
Masyarakat kini menantikan pengumuman resmi UMP 2026 di tiap provinsi, sementara pemerintah daerah menyiapkan kajian yang matang untuk memastikan kebijakan ini dapat diimplementasikan secara efektif.
Dengan mekanisme baru ini, diharapkan pengupahan lebih adil, transparan, dan mendorong produktivitas nasional tanpa menimbulkan disparitas antarwilayah.