JAKARTA - Kesadaran mengenai ancaman lingkungan kembali ditegaskan pemerintah, terutama ketika berbagai wilayah Indonesia sedang menghadapi peningkatan risiko bencana hidrometeorologi.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy menekankan bahwa bencana lingkungan yang terjadi belakangan ini bukan hanya disebabkan oleh perubahan iklim global, tetapi juga akibat perilaku manusia yang melanggar aturan dan mengabaikan prinsip hidup selaras dengan alam. Penjelasan ini disampaikan dalam agenda Peluncuran Dana Inovasi Teknologi dan Kajian Solusi Berketahanan Iklim di Gedung Bappenas, Jakarta, Selasa.
Dalam sambutannya, Rachmat menyebut bahwa Indonesia kembali berhadapan dengan tantangan lingkungan yang semakin kompleks. Menurutnya, kombinasi antara perubahan iklim dan tindakan manusia menjadi faktor utama yang memicu kerusakan lingkungan serta meningkatnya risiko bencana. Ia menegaskan perlunya peningkatan disiplin serta tata kelola lingkungan yang lebih baik agar dampak dari perubahan iklim tidak semakin parah di masa depan.
Situasi Bencana yang Melanda Aceh dan Sumatera
Rachmat menjelaskan bahwa wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat saat ini tengah mengalami bencana alam akibat hujan lebat yang memicu banjir bandang, banjir, dan tanah longsor.
Curah hujan ekstrem yang dipengaruhi oleh hujan monsun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan volume air sungai hingga meluap di beberapa titik. Hujan monsun sendiri merupakan kondisi perubahan arah angin yang membawa massa uap air signifikan sehingga memicu curah hujan tinggi dalam periode tertentu.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa Indonesia berada di tengah situasi yang membutuhkan respons cepat dan kebijakan mitigasi yang lebih kuat. Rachmat menyebut bahwa tanpa intervensi yang tepat, kerugian akibat bencana akan terus meningkat dan memperburuk kondisi iklim, sosial, serta lingkungan di tingkat nasional. Hal ini juga akan berdampak jangka panjang apabila tidak ditangani secara komprehensif.
Ancaman Krisis Iklim Berdasarkan Data Global
Dalam paparannya, Rachmat memaparkan sejumlah data penting terkait ancaman krisis iklim di tingkat global. Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2022, disebutkan bahwa 50 hingga 75 persen populasi global berpotensi terdampak kondisi iklim ekstrem pada 2100 apabila tidak ada upaya mitigasi yang masif.
Selain itu, laporan UNFCCC tahun 2022 menunjukkan bahwa polusi udara menyebabkan hingga 4,2 juta kematian setiap tahun, menjadi salah satu penyebab terbesar penyakit dan kematian dini dunia.
Ia juga mengutip data The Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) tahun 2019 yang menyatakan bahwa sekitar satu juta spesies hewan dan tumbuhan berada dalam ancaman kepunahan akibat perusakan habitat dan perubahan iklim.
Dampak perubahan lingkungan ini semakin menguat dengan laporan terbaru World Meteorological Organization (WMO) tahun 2024, yang mencatat bahwa tahun 2024 menjadi tahun terpanas dengan kenaikan suhu rata-rata global mencapai 1,55 derajat celcius dari baseline pra-industri.
Rachmat menyampaikan bahwa apa yang dilakukan saat ini akan berdampak besar tidak hanya pada generasi mendatang, melainkan pula pada stabilitas banyak negara. “Apa yang kita lakukan saat ini itu akan berpengaruh tidak hanya pada generasi mendatang, tidak hanya berpengaruh pada suatu negara, tapi juga berpengaruh pada banyak negara di dunia,” ucapnya.
Pentingnya Percepatan Aksi dan Kebijakan Berkelanjutan
Rachmat menekankan bahwa perlambatan dalam mengambil langkah nyata akan menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang jauh lebih besar di masa depan. Ia mengatakan bahwa ini menjadi sinyal kuat agar seluruh pemangku kepentingan mempercepat aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. “Ini adalah sinyal kuat bahwa kita harus mempercepat langkah, karena setiap keterlambatan akan dibayar dengan biaya sosial dan ekonomi yang semakin besar,” ujarnya.
Kondisi ini juga menjadi pendorong bagi pemerintah untuk memperkuat kerja sama dengan berbagai negara dan lembaga internasional. Dalam kesempatan tersebut, peluncuran Innovation and Technology Fund (ITF) antara Indonesia dan Inggris dinilai sebagai momentum strategis untuk memperkuat komitmen bersama dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Peluncuran Dana Inovasi dan Kajian Ketahanan Iklim
ITF merupakan mekanisme pendanaan untuk mendukung implementasi pembangunan rendah karbon di tingkat provinsi. Program ini diharapkan dapat memberikan dorongan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas dalam menghadapi perubahan iklim, sekaligus mengembangkan teknologi inovatif yang mampu memperkuat ketahanan lingkungan. Melalui ITF, Indonesia berupaya menciptakan pendekatan pembangunan yang lebih adaptif dan berbasis bukti ilmiah.
Selain ITF, Bappenas juga meluncurkan pembaruan Kajian Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) serta Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Perpindahan Penduduk pada Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dua kajian ini menjadi bagian integral dalam merumuskan kebijakan pembangunan nasional yang lebih responsif terhadap risiko perubahan iklim.
Rachmat mengajak seluruh pihak untuk memanfaatkan momentum ini sebagai penguat tekad bersama. “Marilah kita jadikan momentum ini sebagai penguat tekad bersama untuk mendorong inovasi dan teknologi dalam memperkuat ketahanan Indonesia terhadap perubahan iklim,” ujarnya.