JAKARTA - Empat Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di Nusa Tenggara Barat (NTB) melakukan merger sebagai strategi untuk memperkuat kinerja sekaligus menyesuaikan diri dengan aturan terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Langkah ini menjadi penting, karena menegaskan bagaimana bank-bank lokal merespons kebutuhan modal minimum serta menjaga keberlanjutan operasional mereka.
Kepala OJK Provinsi NTB, Rudi Sulistyo, menjelaskan bahwa BPR yang berhasil melakukan merger terdiri dari BPR Kabalong Abdi Swadaya yang bergabung dengan BPR Wiranadi, serta BPR Sowan yang melakukan merger dengan BPR Danayasa.
Menurut Rudi, merger ini memiliki tujuan ganda: meningkatkan daya saing BPR dan memastikan modal inti minimum sebesar Rp6 miliar terpenuhi.
“Merger ini dilakukan untuk memperkuat kinerja BPR sekaligus memenuhi modal inti minimum yang disyaratkan OJK,” ujar Rudi.
Merger sebagai Upaya Penyelamatan
Selain memperkuat modal, merger juga dilihat sebagai langkah preventif untuk menyelamatkan perbankan dari risiko kebangkrutan. OJK menegaskan, bank yang tidak mampu memenuhi persyaratan modal bisa terancam ditutup, sehingga konsolidasi menjadi solusi strategis.
“Dengan adanya merger, perbankan yang sebelumnya berisiko bangkrut dapat terselamatkan, sehingga lebih sehat secara operasional,” tambah Rudi.
Lebih lanjut, aturan single presence policy dari OJK diharapkan akan mendorong lebih banyak BPR untuk melakukan merger. Rudi menyebutkan bahwa NTB memiliki tujuh kelompok usaha perbankan, dan melalui kebijakan ini, jumlah BPR diproyeksikan akan berkurang empat lagi.
“Jadi di NTB ini ada tujuh kelompok usaha perbankan. Dengan adanya single presence policy, kita harapkan BPR akan berkurang empat lagi,” jelas Rudi.
Kondisi Modal dan Dorongan OJK
Dari total 22 BPR yang beroperasi di NTB, 16 di antaranya telah memenuhi ketentuan modal inti minimum. Sementara enam sisanya didorong untuk memenuhi modal baik melalui merger maupun suntikan modal dari pemegang saham.
Strategi ini diharapkan tidak hanya menyehatkan bank, tetapi juga meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan lokal.
“Kami akan terus mendorong BPR lainnya untuk melakukan merger atau menambah modal agar sistem perbankan di NTB lebih sehat,” pungkas Rudi.
Kebijakan OJK ini selaras dengan upaya memperkuat struktur perbankan di tingkat provinsi, sekaligus menjaga likuiditas dan kemampuan penyaluran kredit. Dengan modal lebih besar, BPR dapat bersaing lebih sehat di pasar lokal dan memperluas pelayanan kepada masyarakat.
Pertumbuhan Kredit dan Dukungan UMKM
Data OJK menunjukkan bahwa posisi kredit perbankan di NTB pada September 2025 tercatat sebesar Rp78.285 miliar, tumbuh 9,22% year-to-date (ytd) dan 12,55% year-on-year (yoy).
Dari jumlah tersebut, kredit untuk sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mencapai Rp22,7 triliun, meski pertumbuhannya relatif kecil, yaitu 0,38% yoy.
Kredit UMKM menjadi sorotan karena sektor ini merupakan tulang punggung perekonomian lokal. Dengan adanya merger, BPR diharapkan memiliki kapasitas lebih besar untuk menyalurkan kredit ke pelaku UMKM, sekaligus menjaga likuiditas bank agar tetap sehat.
Dana Pihak Ketiga dan Likuiditas BPR
Selain pertumbuhan kredit, Dana Pihak Ketiga (DPK) juga mengalami peningkatan sebesar 3,31% yoy. Komposisi DPK mayoritas berasal dari tabungan sebesar Rp26,56 triliun, deposito Rp14,71 triliun, dan giro Rp10,66 triliun.
Peningkatan DPK menandakan kepercayaan masyarakat terhadap BPR semakin meningkat, meskipun beberapa bank masih dalam proses konsolidasi.
Dengan dana yang lebih stabil, BPR dapat lebih leluasa mengatur penyaluran kredit, memperkuat modal, dan mendukung kegiatan ekonomi lokal, terutama di sektor UMKM dan usaha mikro lainnya.
Nilai Aset Perbankan NTB
Nilai total aset perbankan di NTB mencapai Rp91,93 triliun, dengan rincian sebagai berikut: aset perbankan konvensional Rp698,38 miliar, modal ventura Rp186,6 miliar, dan aset Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Rp6,91 miliar.
Pertumbuhan aset menunjukkan bahwa meski ada merger dan konsolidasi, perbankan NTB tetap menunjukkan stabilitas finansial yang memadai.
Merger yang dilakukan juga memungkinkan pengelolaan aset lebih efisien, sehingga bank dapat mengurangi biaya operasional, memaksimalkan profitabilitas, dan meningkatkan layanan kepada nasabah.
Dampak Merger terhadap Operasional BPR
Merger tidak hanya berdampak pada struktur modal, tetapi juga pada efisiensi operasional. Konsolidasi memungkinkan BPR untuk mengefisiensikan biaya operasional, memperluas jaringan layanan, dan meningkatkan kemampuan menyalurkan kredit.
Selain itu, reputasi BPR juga diharapkan meningkat karena memiliki modal lebih besar dan manajemen yang lebih terstruktur.
Penggabungan sumber daya ini juga memungkinkan BPR untuk mengadopsi teknologi perbankan modern, memperbaiki sistem informasi, dan mempermudah nasabah dalam mengakses layanan keuangan.
Dorongan OJK untuk Konsolidasi Lebih Lanjut
OJK terus mendorong BPR lainnya di NTB untuk melakukan langkah serupa. Dengan regulasi yang jelas dan dorongan merger, bank-bank kecil diharapkan dapat bersaing lebih sehat, menjaga kepercayaan nasabah, dan tetap mendukung pertumbuhan ekonomi daerah.
Kebijakan konsolidasi ini sejalan dengan upaya OJK untuk memperkuat industri perbankan lokal, meningkatkan kualitas layanan, dan memastikan bahwa seluruh BPR beroperasi dengan modal memadai serta praktik manajemen risiko yang baik.
Merger empat BPR di NTB merupakan strategi penting untuk memperkuat kinerja, meningkatkan modal inti, dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Langkah ini tidak hanya memenuhi persyaratan OJK, tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang bagi perbankan dan perekonomian lokal.
Dengan dukungan regulasi yang tepat dan pengawasan dari OJK, BPR di NTB diharapkan mampu bersaing lebih sehat, menyalurkan kredit ke sektor UMKM, dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi daerah.
Konsolidasi ini menunjukkan bahwa bank-bank lokal mampu menyesuaikan diri dengan perubahan regulasi dan kebutuhan pasar secara proaktif.